Kekuatan Itu Ada Pada Al Qur’an


“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

Terdapat lebih dari 19 ayat yang menyebut kata “ruh” dalam Al-Qur’an. Maksud yang terkandung dari istilah ini tidak keluar dari arti malaikat Jibril yang biasanya ditambah dengan istilah Ruhul Quds atau Ar-Ruhul Amin dan maksud yang kedua adalah Al-Qur’an. Dan hanya satu ayat yang bermaksud roh dalam arti yang sebenarnya, yaitu pada ayat ini. Meskipun demikian terdapat juga ulama tafsir seperti yang dinukil oleh Imam Al-Qurthubi yang memahami ruh dalam arti analogis yaitu Al-Qur’an. Maka pengertian ayat ini menurut Al-Qurtubi secara analogis adalah:

“Dan mereka bertanya, “Darimanakah Al-Qur’an yang di tanganmu ini?”. “Katakanlah: Sesungguhnya ia diturunkan sebagai mukjizat atas perintah Allah swt.”

Analogi kedua makna ini sangat jelas. Roh merupakan alat kehidupan manusia secara fisik materil. Manakala Al-Qur’an adalah roh yang bisa memberi kekuatan dan kehidupan manusia secara psikologis ruhiyah. Hal ini bertepatan dengan ungkapan Malik bin

Dinar tentang roh Al-Qur’an:

“Wahai Ahlul Qur’an!, apa yang telah ditanam oleh Al-Qur’an ke dalam lubuk hatimu?. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur hati sebagaimana hujan yang menyuburkan bumi.”

Dalam konteks ruh yang memiliki pengertian Al-Qur’an, terdapat empat ayat membahasnya, yaitu surah An-Nahl: 2, Ghafir: 15, Asy-Syura: 52 dan Surah Al-Isra’: 58 yang dipahami secara analogis. Tentunya, penamaan Al-Qur’an dengan ruh bukan kebetulan dan tanpa hikmah yang perlu digali oleh hamba-Nya yang merindukan keberkahan dan kekuatan dari Al-Qur’an, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh Al-Qur’an yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Betapa hanya Al-Qur’an yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya.

Sayyid Qutb menyatakan pandangannya tentang penamaan Al-Qur’an dengan ruh berdasarkan firman Allah: “(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang memberi ruh dengan (membawa) perintahNya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).” (Ghafir: 15) bahwa ini merupakan kinayah tentang wahyu. Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan dua hal: pertama, bahwa wahyu (Al-Qur’an) adalah ruh dan kehidupan bagi manusia, tanpa ruh ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar. Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Selanjutnya beliau juga menafsirkan ruh dalam ayat-ayat ini sebagai sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari.

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

Kekuatan besar dari sentuhan Al-Qur’an ini dirasakan benar oleh para sahabat Rasulullah karena memang mereka menerima Al-Qur’an ini dengan segenap hati, pikiran dan kemauan mereka. Seperti yang diriwayatkan oleh Ath-Thobroni dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa ia berkata:

“Ketika turun surah Az-Zalzalah, maka serentak Abu Bakar yang sedang duduk waktu itu menangis. Maka Rasulullah saw. pun menghampirinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Abu Bakar?”. Surah inilah yang membuat aku menangis”. Maka Rasulullah menenangkan dengan sabdanya:

“Jika kalian tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan, maka Allah akan menciptakan kaum lain yang mereka itu melakukan salah dan dosa kemudian mereka bertaubat dan Allah mengampuni mereka.”

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Hanthob bahwa Rasulullah saw. pernah membacakan surah ini dalam satu majlis di mana seorang Arab Badui ikut serta duduk bersama. Setelah mendengar ini, lelaki itu lantas keluar sambil menyesali dirinya “alangkah buruknya aku”. Maka Rasulullah mengatakan kepada para sahabatnya, “sungguh iman telah masuk ke dalam hati lelaki badui tadi.”

Maka sangat tepat ungkapan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi yang menegaskan bahwa:

“Al-Qur’an adalah “ruh Rabbani” kekuatan Rabbani yang akan mampu menghidupkan dan menggerakkan akal fikiran dan hati. Sebagaimana Al-Qur’an juga undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan bangsa secara kolektif.”

Syekh Muhammad Al-Ghazali menyebutkan:

“Al-Qur’an inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan Al-Qur’an. Namun yang sangat disayangkan bahwa cahaya ini tidak nampak di depan umat Islam karena mata-mata mereka sudah tertutup sehingga aib dalam konteks sekarang ini bukan aib Al-Qur’an, tetapi aib pandangan manusia yang lebih mengagungkan kekuatan lain selain Al-Qur’an. Padahal Allah sudah berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)

Karenanya esensi seluruh perintah dan petunjuk Al-Qur’an adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)

Kekuatan lain yang seharusnya kita sadari dari Al-Qur’an yang mulia ini bahwa Al-Qur’an merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia; menghidupkan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran dan kehendaknya.

“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasin: 70)

Ibnu Qutaibah dalam kitab “Tafsir Gharibil Qur’an” memahami kalimat “Hayyan” di dalam ayat ini dengan pengertian seorang mukmin yang hidup karena memperoleh petunjuk Allah swt. demikian juga dengan firman Allah swt.:

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 122).

Yang dimaksud dengan orang yang hidup dalam ayat ini adalah orang yang beriman dan orang yang mati adalah orang kafir. Makanya Allah membedakan keduanya dengan menggunakan istilah ini juga di dalam firman-Nya: “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.” (Fathir: 22)

Sesungguhnya, berbagai ujian yang mengejutkan bangsa ini semakin membuktikan hakikat yang tidak terbantahkan akan kelemahan manusia dan hajat mereka akan pertolongan Allah swt. bahwa sesungguhnya sumber kekuatan satu-satunya adalah Allah yang menciptakan segalanya dan kita akan meraih kekuatan itu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber kehidupan dan kekuatan kita.

Sekali lagi, Allah swt. mengingatkan kita akan kekuatan Al-Qur’an.

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (An-Nahl: 2)

Memang sudah saatnya bagi kita untuk menerima Al-Qur’an dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak kita dan tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16).

Selama kita masih mengharap datangnya kekuatan lain, maka selama itu pula kita tidak akan meraih kehidupan yang mulia di bawah bimbingan dan naungan Al-Qur’an.

Selengkapnya »»

Sepucuk “Hidayah” Buat Seorang Sahabat

“Celakalah Khalid. Semoga tuhan Romawi melaknatnya.” Sumpah serapah itu keluar dari mulut Argenta seraya menarik tali kekang kudanya meninggalkan medan perang yang masih berdebu. Samar-samar terlihat ribuan tentara Romawi mulai mengambil langkah seribu.

Argenta masih terengah-engah menahan lelah setelah seharian bertempur. Jiwanya masih terguncang menghadapi kenyataan pahit kekalahan pasukannya, ditambah lagi sebuah peristiwa tragis masih membekas di pelupuk matanya. Ketika Argenta harus menyudahi duel mautnya melawan orang yang selama ini amat disegani, seorang jenderal, panglima perang sekaligus seorang sahabat yang selama ini menjadi atasannya. Gregorius Theodorus, panglima Romawi yang menjadi muslim tewas di ujung pedang bawahannya sendiri, Argenta.

“Lari, ini instruksi Kaisar Heraklius!!! Kita harus mundur ke Armenia. Berlindung dengan pasukan panah.” Margiteus resah. Topi besi yang menutupi kepalanya melorot sepertiganya. Upaya evakuasi

itu sungguh melelahkan.

“Apa yang terjadi dengan Gregorius?”

“Dia sudah mati.”

“Oh, malang benar orang itu.”

Dia seorang muslim,” imbuh Margiteus getir sambil mengusap-usap pedang panjangnya.

“Hah, mustahil. Mana mungkin! Dia seorang Kristiani yang taat.”

“Aku telah membunuhnya.” Argenta terduduk lesu

“Cuma aku kesal dan menyesal, kenapa bisa seorang panglima ulung yang pernah dimiliki bangsa Romawi harus mati di ujung mata pedangku.”

“Siapa yang akan menggantikannya?”

“Wardan.”

“Hah!!? Orang itu tahu apa tentang perang!” Argenta merasa sangat kecewa.

“Dia veteran perang wilayah tengah dulu. Kaisar Heraklius yang memberi restu.”

“Bodoh benar! Kenapa posisi strategis diberikan kepada veteran yang sakit. Orang itu tahunya cuma bagaimana bisa kabur. Si Pengecut itu mana mungkin mampu menahan gempuran pedang orang Islam.”

Bunga-bunga api terpecik dari ranting kering yang coba disulut Argenta. Bara api menjalar-jalar hampir menyentuh sepatu kulit lembunya yang berdebu tebal.

“Kita pernah menaklukkan sepertiga dunia. Tapi kita kalah dari orang-orang Khalid yang berperang tanpa baju besi. Ini salah siapa? Merekakah yang kuat atau kita terlalu lemah!?”

“Mereka tak takut mati. Mereka menyukai mati seperti halnya kita menyukai hidup ini.”

“Kau pernah melihat Khalid.”

“Pernah. Dua kali. Pertama sewaktu aku melakukan tugas pengintaian di Parsi. Kedua saat dia bertarung dengan Gregorius sebelum dia memeluk Islam.”

“Berjanjilah atas kebenaran wahai sahabatku, Margiteus. Apakah begitu gagah manusia bernama Khalid itu?”

“Pernahkah kau mendengar cerita para tentara Romawi mengenai kegagahan Khalid.” Margiteus tersenyum getir. Dia menghela nafas, lesu sambil melempar pandangan jauh ke gugusun bintang-bintang yang menghias cakrawala.

Argenta mengerutkan keningnya. Rasa ingin tahunya menyelinap ke seluruh penjuru batok kepalanya. Menumbuhkan tanda tanya.

“Tuhan mereka telah menurunkan sebilah pedang dari langit kepada Nabi Muhammad lalu diserahkannya kepada Khalid. Dan setiap kali Khalid menarik pedangnya dia menjadi perwira tidak terkalahkan. Tiada lawan yang dapat mengalahkannya sehingga mendapat gelar ‘Pedang Allah’ dari Nabinya.”

Argenta terpana sendirian. Kagumnya menelusup mendengar cerita-cerita yang selama ini menjadi gunjingan teman-teman seperjuangannya. Malah menjadi igauan para kaisar di imperium Romawi.

Bagaimanakah para tentara Parsi yang berbesi pemberat di kaki, agar mereka tidak lari dari medan perang, namun bisa hancur luluh oleh pasukan Khalid? Dia telah menguasai jalur perniagaan di kota Tadmur dan menguasai Qaryatain di wilayah Homs. Kemudian satu persatu wilayah Syria jatuh ke tangan mereka. Hawarin, Tsaniat-Iqab dan Busra. Semua lebur. Porak poranda. Hancur. Pasukan semut menumpaskan bala tentara gajah. Musibah apakah yang tengah menimpa imperiumku ini?

“Pedang Allah, dongengmu memang hebat. Mungkin hanya aku seorang dari ribuan pejuang Romawi yang tidak mempercayainya.” Ketus Argenta menahan amarah. Margiteus sudah bangun dari tidurnya, dia menyarungkan pedangnya ke sisi kuda perang yang tengah asyik memamah santapan rumput hijau. Margiteus tampak lesu. Mungkin sesuatu yang berat sedang dipikirkan. Episode perang esok, entah apa yang akan terjadi?

***

Perang di bumi Yarmuk bertambah hebat tatkala masuk hari kedua. Ada prestise yang perlu dipertahankan. Pasukan perang Romawi sekuat tenaga mempertahankan Syria, wilayah kekuasaannya di sebelah timur. Sementara para pejuang Islam membawa misi membebaskan Syria dari cengkeraman pejajahan Romawi di samping tugas berat menyebarkan dakwah Islamiah.

Khalid dengan lantang menggelorakan semangat jihad. Semangat jihad yang bagaikan suatu keajaiban telah dapat mengalahkan 240.000 pasukan Romawi walau hanya dengan kekuatan 39.000 tentara Islam yang berani berkorban demi agama mereka.

Argenta menjadi gentar dan seperti tak bernyali lagi menghadapi kehebatan tentara Islam yang terus menggempur, menyerbu dan merangsek bagaikan air bah yang pantang surut. Namun bukan berjiwa ksatria namanya kalau harus menerima begitu saja kenyataan pahit itu. Tatkala Argenta merasakan ada titik-titik kelemahan dari tentara Islam disitulah upaya serangan balik dilakukan. Mereka menghantam sayap kiri dan sayap kanan barisan kaum muslimin. Sementara pertempuran semakin memanas, Margiteus seperti tak terlihat kehadirannya di sana, dia lenyap dalam hiruk pikuk Yarmuk.

“Wahai tentara Romawi, rekan-rekanku pembela kaisar yang setia. Perang ini adalah perang tanding satu tentara Khalid lawan enam pasukan Romawi. Kalian bukan anak-anak Romawi kalau mati di tangan mereka yang sedikit dan lemah itu.” Argenta meniup semangat pasukannya.

Medan pertempuran semakin bergolak, kepulan debu, dentingan pedang seakan tak pernah berhenti. Sesekali terdengar jeritan satu dua tentera meregang nyawa, dalam erangan panjang yang memilukan. Ya! Perang memang sesuatu yang kejam, seperti tak ada ruang untuk diberi belas kasihan. Benarlah, dalam perang rasa kemanusiaan seakan sudah mati!

“Kaisar Heraklius melarikan diri ke Constantinople.” Teriak salah seorang tentara Romawi di tengah berkecamuknya perang itu. Laungan teriakan itu timbul tenggelam seakan ditelan kalutnya pertempuran, nyaris tidak diketahui dari mana asal suara itu. Hal ini menjadi hantaman dahsyat yang meredupkan semangat juang para tentara Romawi. Seorang Kaisar merangkap panglima tertinggi melarikan diri! Tragis!!! Suatu tindakan sangat pengecut, setidaknya itu yang ada di benak Argenta.

Dampaknya mulai terasa, luar biasa. Tentara Romawi mulai gentar. Mereka tidak lagi memiliki garis komando di medan tarung itu. Daya tempur merosot drastis. Mereka mulai berhitung bila melanjutkan perang, nyawa melayang atau menjadi tawanan tentara Islam. Akhirnya banyak diantara mereka yang memilih undur diri. Nyawa lebih penting!

“Bukan kaisar saja yang begitu. Semua panglima sama saja. Membiarkan tentaranya bertempur di barisan depan. Sementara mereka mengambil posisi di barisan belakang. Mereka dapat dengan leluasa melarikan diri. Mengapa mereka menjadi penakut seperti itu. Ingat! Kita berjuang demi Romawi dan diri kita sendiri. Bukan demi Kaisar.” Argenta memprotes semangat pasukan Romawi yang mulai luntur.

“Jangan coba-coba durhaka kepada Kaisar. Kaisar banyak tugas yang harus ditunaikan. Kita dalam keadaan terjepit sekarang. Tidak ada yang mengatur strategi. Apatah lagi mendeteksi taktik musuh dan memompa semangat para tentara. Kita terpaksa mundur juga.” Sergah seorang tentara menegur Argenta yang merasa kecewa. Rasa iba muncul dalam dirinya. Diakui memang sukar mencari tipikal prajurit Romawi sekaliber Argenta kini. Tapi apalah daya, sedangkan Kaisar sendiri melarikan diri. Apalah yang diharapkan para tentara kini, yang mereka tahu hanya menjunjung perintah. Tanpa jati diri yang teguh.

“Perhatian! Perhatian! Tentara Khalid menyerang dari belakang!” Teriakan itu membuyarkan lamunan para tentara Romawi itu. Argenta mulai beringsut dibelakang kuda warna coklat gelap, mencoba membalap kuda tentara tersebut.

“Lihat di medan sana.” Argenta menoleh sambil memastikan letak yang ditunjuk itu. Dari kejauhan peperangan masih berlangsung walaupun tidak sehebat tadi karena banyak tentara Romawi yang sudah melarikan diri. Yarmuk bergolak lagi.

“Kenapa? Ada apa?”

“Lihatlah manusia yang paling di depan di kalangan mereka. Itulah Khalid.” Bola mata Argenta gesit membidik sasarannya. Terekam kegagahan Khalid di kelopak matanya. Khalid sedang melaju dengan kudanya. Paling terdepan dan paling piawai berkuda. Dia menangkis setiap hambatan di depannya sambil melaungkan kalam Allah, mengobarkan jihad para pejuangnya. Dia menebas leher-leher musuh. Baginya tak mengenal kamus mundur atau pun takut. Mengapa tidak ada perwira Romawi seperti dia?”

“Ketua mereka bertempur paling depan tetapi mengapa bukan Kaisarku yang bertempur paling depan. Inikah yang dikatakan pembela rakyat dan penerus imperium Romawi. Kini tidak saja terdengar kebobrokan orang-orang Istana di Eropa, tapi juga semuanya telah menular ke seluruh pelosok dunia. Pemerintahan Tiranik! Pemeras airmata dan darah rakyat. Apakah ini balasan Tuhan kepada imperium Romawi?”

Tanpa sadar air mata Argenta menetes. Inilah perasaan terhina yang baru pertama kalinya dirasakan. Kecintaannya kepada Romawi sangat tinggi. Ketaatannya kepada Kaisar tiada berbagi. Mengapa harus dibayar pengorbanan para tentaranya dengan sikap pengecut para atasannya. Kuda dipacu Argenta secepat-cepatnya. Biarlah kesengsaraan ini harus ditanggung terbang bersama deru angin. Dia pasrah. Samar-samar terlihat kota Damascus berdiri megah. Apakah kota ini sekokoh dulu? Argenta makin terbawa dalam lamunannya.

Pasukan Romawi kalah telak di tangan kaum muslimin. Mereka kehilangan 50,000 orang tentaranya. Rata-rata mereka mencari perlindungan di Damascus, Antokiah dan Caesarea serta ada juga yang turut mabur bersama Kaisar Heraklius ke Constantinople. Pertempuran sehari itu meninggalkan satu catatan buruk dalam sejarah perang Romawi yang sulit dihapus dalam sejarahnya. Mereka harus bertekuk lutut dengan pasukan yang bilangannya jauh kecil dengan peralatan perang yang jauh tertinggal dibanding mereka.

***

Pasukan Romawi semakin terdesak. Kota Damascus dengan mudah jatuh ke pangkuan kaum muslimin. Kota itu diserbu tatkala Raja Jabala IV mengadakan jamuan kelahiran anak lelakinya. Khalid bersama beberapa orang tentara Islam berhasil memanjat tembok kota sekaligus membuka pintu gerbang al-Syarqi dan al-Jabiat. Panglima Vartanius yang mengepalai tentara Romawi di Kota Damascus terpaksa melarikan diri ke Homs bersama sisa-sisa tentaranya. Raja Jabala IV terpaksa mengirim utusan damai dan memilih membayar jizyah kepada kaum muslimin. Argenta melarikan diri ke Antokiah.

“Argenta, ada surat dari sahabatmu, Margiteus,” Seorang lelaki yang telah berumur memberikan sepucuk surat kepada Argenta. Langsung wajah Margiteus membayangi hampir seluruh pikirannya di pagi yang cerah di Antokiah. Bukankah Margiteus sudah ditawan di Yarmuk dulu? Dia masih belum mati?

Argenta,

Sungguh pun surat ini mungkin menimbulkan tanda tanyamu tapi percayalah aku di sini senantiasa sehat dan sentosa di bawah lindungan Allah.

Aku masih hidup. Aku tidak seburuk yang kau gambarkan. Aku diberi makan sebagaimana makanan mereka. Aku tidak dikuliti atau dibelenggu kaki dan tangan untuk diinterogasi. Mungkin dengan inilah menyebabkan aku mengenal Allah swt yaitu Tuhanku dan juga Tuhanmu walau waktunya mungkin sangat singkat.

Sahabatku, aku tidak dalam tekanan. Aku tidak dalam keadaan dipaksa sebagaimana biasa dilakukan pemerintah Romawi yang menyeret paksa rakyat dengan kuda karena menunggak pajak. Ada ketenangan di sini sehingga aku bisa mengenal siapa sesungguhnya diriku, tujuan hidup dan agamaku yang satu. Semuanya jelas dan terbentang indah di benak sanubari ini.

Argenta,

Khalid tidak sekejam yang kau gambarkan. Dia mungkin keras dan garang di medan juang. Tapi dia masih mampu mengulur roti kepada tawanan yang tahu arti menghormati. Raut mukanya tenang menyiratkan keteduhan jiwanya, hal itulah yang membuat siapa saja tidak menyangka kalau dia itu Khalid, panglima Islam paling agung. Percayalah!

Kau ingat juga kan dongeng tentang Khalid? Pedang yang konon diturunkan dari langit. Itu semua dusta. Mungkin itu hanya cerita para penakut yang muncul dari para lawan tarungnya setiap kali berhadapan dengan pedangnya. Pedang Khalid hanya besi yang ditempa seperti pedang lain. Tidak ada yang istimewa. Khalid dahulu juga seperti kita. Dia penentang Islam dan Rasulnya. Setelah mendapat hidayah dia beriman. Gelar Pedang Allah hanyalah doa Nabi Muhammad ke atasnya bahwa dia adalah pedang di antara sekian banyak pedang Allah, terhunus buat menghadapi orang musyrik. Nabi Muhammad mendoakan agar Khalid senantiasa menang di setiap perang yang diikutinya.

Argenta,

Kau tentu bertanya apa yang menyebabkan aku memilih Islam. Bukan saja karena kebenaran ajarannya tetapi karena keluhurannya. Aku bertanya pada Khalid. Bagaimana kedudukanku seandainya aku memeluk Islam dibanding dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun memeluk Islam. Jawabannya sama saja di sisi Allah malah mungkin lebih mulia darinya sebaik ungkapan syahadah di bibir dan diyakini di dalam hati. Aku sungguh takjub. Sampai sebegitukah? Tanyaku mana mungkin jadi seperti itu. Kata Khalid dia pernah hidup bersama Nabi dan menyaksikan keajaiban dan petanda keRasulan dan kebenarannya sedangkan orang setelahnya dapat menerima Islam walaupun tidak pernah menyaksikan dan berjumpa dengan Baginda, maka tentunya dia lebih mulia.

Mungkin kau menuduhku sebagai pengagum Khalid. Mungkin tuduhanmu itu benar. Tapi percayalah aku mengagumi perjuangannya bukan jasadnya. Cintanya sangat tinggi kepada Allah dan Rasulnya. Itulah yang membuatnya tidak gentar menghadapi musuh. Dia ingin benar mati di medan perang. Tidak seperti kita yang sungguh takut akan kematian karena kecintaan kepada dunia ini. Aku bertanya-tanya. Kalau begitulah kondisi Khalid. Tentu sungguh agung sekali agama dan pegangan yang dianutnya. Dia setia, jujur, luhur, optimis dan seorang genius perang. Sesuatu yang sukar dicari dalam diri kita sendiri.

Argenta,

Sudilah aku menyeru kepadamu ke jalan kebenaran yang hakiki. Aku tahu selama ini kau dibelenggu ketaatan kepada Romawi. Aku masih sayang akan Romawi seperti juga kau. Islam tidak memisahkan kita dengan Romawi. Islam bukannya milik bangsa Arab. Di sini aku ketemu orang-orang hitam dari benua Afrika yang selama ini kita anggap hanya layak mengangkat tahi para petinggi kita, atasan kita. Di sini segalanya sama lantas inilah yang menyadarkan aku tentang arti kemuliaan insan yang tidak kita temui di Romawi.

Kita tetap sahabat. Agamaku tidak memutuskan rasa kasihku kepadamu. Kau tetap seorang sahabat yang akan ku kenang selagi hayat ini di kandung badan. Cuma aku harap persahabatan ini lebih manis kiranya dapat kau membuka hatimu menerima hidayah-Nya. Semoga Allah menemukan kita, sahabat. Wassalam.

Margiteus

Argenta meremas surat itu di tangan. Ada kepedihan menjalar ke ulu hatinya. Sakit dan perih. Apakah ini benteng egoisme paling tinggi yang berusaha ditahannya atau gelombang pembelotan dari sahabat sejatinya. Argenta mengepalkan tangan membiarkan tulang temulang jarinya berderap.

***

Pasukan Islam menuju utara Syria yang dipertahankan Kaisar Heraklius. Kota Homs jatuh bertekuk lutut sebagaimana pasukan Romawi di Balbek ditumpas abis. Bertempurlah kaum muslimin di kota Aleppo yang terkenal sangat tangguh pertahanannya selama berabad-abad. Allah menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Pasukan Romawi akhirnya mundur ke benteng terakhir di Antokiah. Tentara Romawi diperintah membuat serangan habis-habisan mempertahan kota. Mereka digempur habis-habisan oleh pasukan Khalid.

Argenta memerah keringat di medan perang. Dia mengayunkan pedangnya sesuka hati. Tidak berpikir lagi sabetan itu kena musuh atau kawan. Hatinya terbagi dua. Satu sisi terbetik di hatinya kebenaran kata-kata Margiteus tetapi egoismenya masih mengatasi segala-galanya.

“Argenta! Kuasa Allah telah menemukan kita.” Argenta menoleh. Ditatapnya manusia di hadapannya. Gagah dengan (niqob) cadar hitamnya. Darah yang mengalir di sekitar kening menyulitkannya mengenal dengan pasti orang bercadar itu. Pedang berukir matahari menyadarka tanda tanya Argenta.

“Kau Margiteus”

“Apa kabar sahabatku.” Margiteus tersenyum menatap sahabatnya. Argenta merasa terpukul dengan ketenangan yang tergambar di wajah sahabatnya itu. Nampak jelas dia bahagia sekali dengan kehidupannya kini. Penuh keyakinan.

“Pembelot, kau mengkhianati bangsa Romawi,” Argenta berusaha memancung kepala Margiteus. Margiteus tenang menahan diri. Mereka saling beradu pedang. Sesekali pedang mereka bersilang. Margiteus dengan tenang terus mendakwahi sahabatnya.

“Berimanlah kepada Allah, sahabatku. Kau bis berdamai dengan pihak Islam bila bersepakat membayar jizyah kecali bila tidak mampu membayarnya. Kami berjanji akan memberimu perlindungan. Kau tetap menjadi sahabatku. Romawi tetap megah bahkan akan lebih bersinar dengan cahaya Islam.”

“Diam, pembelot!” Argenta naik pitam. Mereka bertarung hingga melelahkan.

“Jangan menipu diri sendiri Argenta. Jangan mendustai hidayah yang Allah turunkan padamu. Apakah akan kau biarkan rasa congkak dan egomu menguasai dirimu?” Margiteus tidak putus-putus mendakwahi.

“Percayalah ucapanku. Kebenaran itu sudah kau temukan dalam dirimu. Cuma kau masih ragu-ragu padahal dia sudah jelas di depan mata. Lihatlah dunia yang kita arungi ini. Adakah karena Romawi megah seperti yang kau banggakan. Adakah karena Romawi yang dibohongi dengan mitos dan kemustahilan menyekat nur ilahi yang ada pada dirimu. Bangunlah sahabat.”

“Tutup mulutmu atau aku akan penggal kepalamu menjadi makanan anjing-anjing Kaisar,” amuk Argenta semakin menjadi-jadi. Dia seakan tengah melawan rasa bersalah yang dipendamnya. Benarkah dia membohongi dirinya. Kalau dia benar mengapa hatinya memberontak. Menjerit meminta kebebasan dan kebenaran. Ah…, aku benci semua ini!

Dalam keadaan termangu-mangu pedang Argenta terdesak ke tepi. Memberi peluang terbuka bagi Margiteus untuk menebas kepala Argenta. Argenta terbeliak memperhatikan mata pedang Margiteus jatuh tepat di hadapan mukanya. Tangan Margiteus menggigil. Dia berusaha mengelak dan ini memberi peluang kepada Argenta mencuri kemenangan. Perut Margiteus ditusuk hingga tembusi ke belakang badannya. Darah memuncraut bersimbah ke muka Argenta. Rasa sesal menjalar merasuki naluri Argenta. Lantas dia merangkul Margiteus yang hampir tersungkur. Kedua-duanya melemah. Lesu.

“Lepaskan saja aku, Argenta. Uhh…. . Bukankah aku pembelot Romawi dan mengkhianati persahabatan kita?”

“Kau dapat memancung kepala aku tadi. Mengapa tidak kau lakukan? Aku lebih rela mati. Aku merasa sungguh bosan dan benci diriku sendiri.”

“Tahukah kau dalam Islam… membunuh seorang manusia itu bagaikan membunuh seluruh umat manusia. Kami dibenarkan membunuh orang yang menentang agama kami secara kekerasan. Itupun kepada yang mengangkat senjata. Tidak boleh terjadi pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan orang tua serta yang uzur…. Ohhh”

“Akulah yang menentang kau dan agamamu. Mengapa kau tidak membunuhku saja.”

“Apakah ada pedang Romawi yang paling berat melainkan pedangku ini. Pedang yang terpaksa aku jauhkan dari leher seorang sahabat sejati. Betapa pedih kau mendustai dirimu, tapi lebih pedih lagi diriku yang memikirkan persahabatan ini. Aku tak mampu menyisihkannya. Aku berdosa terhadap agamaku… Allahhh…”

“Tidak, Margiteus. Agamamu adalah kebenaran yang ku cari. Cuma aku khawatir kau sudah melupakan persahabatan kita. Aku terlalu egois. Aku menipu diriku sendiri! Aku menipu kau wahai sahabat! Maafkan aku.”

“Cukuplah kau tahu betapa dalamnya persahabatan ini. Ingatlah, dalam Islam kemanusiaan itu tidak hilang meskipun dalam peperangan. Kita bertemu karena Allah dan berpisah juga karena-Nya. Kalau kau mengasihiku. Inilah aku yang kau lihat akan mati. Kalau kau mencintai kehormatan dan kemegahanmu semua itu juga akan lenyap dan binasa. Tapi seandainya kau mencintai Allah, Dia sesungguhnya tidak pernah mati ataupun binasa….”

“Sungguh Margiteus. Aku bersumpah dengan nama tuhanmu. Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Apakah aku akan membohongi diriku lagi di saat kau begini..?”

Margiteus menahan perih luka tusukan pedang di lambungnya. Dirasakannya luka tusukan itu telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia tersenyum mendengar keimanan Argenta. Perlahan-lahan jasadnya kaku mengiringi lafaz syahadah di mulutnya. Argenta terisak meratapi sahabatnya. Perang dirasanya sunyi. Sepi.

Sumber: Seri Sahabat Nabi, Khalid Al-Walid & Abu Hurairah, K Publishing & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1990

Selengkapnya »»

Sekuntum “Cinta” Pengantin Syurga


“Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah,” Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin memberikan komentar mengenai pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.

Bila seorang kekasih telah singgah di hati, pikiran akan terpaut pada cahaya wajahnya, jiwa akan menjadi besi dan kekasihnya adalah magnit. Rasanya selalu ingin bertemu meski sekejab. Memandang sekilas bayangan sang kekasih membuat jiwa ini seakan terbang menuju langit ke tujuh dan bertemu dengan jiwanya.

Indahnya cinta terjadi saat seorang kekasih secara samar menatap bayangan orang yang dikasihi. Bayangan indah itu laksana

air yang menyirami, menyegarkan, menyuburkan pepohonan taman di jiwa.

Dahulu di kota Kufah tinggallah seorang pemuda tampan rupawan yang tekun dan rajin beribadat, dia termasuk salah seorang yang dikenal sebagai ahli zuhud. Suatu hari dalam pengembaraannya, pemuda itu melewati sebuah perkampungan yang banyak dihuni oleh kaum An-Nakha’. Demi melepaskan penat dan lelah setelah berhari-hari berjalan maka singgahlah dia di kampung tersebut. Di persinggahan si pemuda banyak bersilaturahim dengan kaum muslimin. Di tengah kekhusyu’annya bersilaturahim itulah dia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita.

Sepasang mata bertemu, seakan saling menyapa, saling bicara. Walau tak ada gerak lidah! Tak ada kata-kata! Mereka berbicara dengan bahasa jiwa. Karena bahasa jiwa jauh lebih jujur, tulus dan apa adanya. Cinta yang tak terucap jauh lebih berharga dari pada cinta yang hanya ada di ujung lidah. Maka jalinan cintapun tersambung erat dan membuhul kuat. Begitulah sejak melihatnya pertama kali, dia pun jatuh hati dan tergila-gila. Sebagai anak muda, tentu dia berharap cintanya itu tak bertepuk sebelah tangan, namun begitulah ternyata gayung bersambut. Cintanya tidak berada di alam khayal, tapi mejelma menjadi kenyataan.

Benih-benih cinta itu bagai anak panah melesat dari busurnya, pada pertemuan yang tersamar, pertemuan yang berlangsung sangat sekejab, pertemuan yang selalu terhalang oleh hijab. Demikian pula si gadis merasakan hal serupa sejak melihat pemuda itu pada kali yang pertama.

Begitulah cinta, ketika ia bersemi dalam hati… terkembang dalam kata… terurai dalam perbuatan…Ketika hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Ketika hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai dengan kepalsuan dan tidak nyata…

Ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tertegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam perbuatan. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.

Semakin dalam makna cinta direnungi, semakin besar fakta ini ditemukan. Cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat, bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.

Begitupun dengan si pemuda, dia berpikir cintanya harus terselamatkan! Agar tidak jadi liar, agar selalu ada dalam keabadian. Ada dalam bingkai syari’atnya. Akhirnya diapun mengutus seseorang untuk meminang gadis pujaannya itu. Akan tetapi keinginan tidak selalu seiring sejalan dengan takdir Allah. Ternyata gadis tersebut telah dipertunangkan dengan putera bapak saudaranya.

Mendengar keterangan ayah si gadis itu, pupus sudah harapan si pemuda untuk menyemai cintanya dalam keutuhan syari’at. Gadis yang telah dipinang tidak boleh dipinang lagi. Tidak ada jalan lain. Tidak ada jalan belakang, samping kiri, atau samping kanan. Mereka sadar betul bahwa jalinan asmaranya harus diakhiri, karena kalau tidak, justeru akan merusak ’anugerah’ Allah yang terindah ini.

Bayangkan, bila dua kekasih bertemu dan masing-masing silau serta mabuk oleh cahaya yang terpancar dari orang yang dikasihi, ia akan melupakan harga dirinya, ia akan melepas baju kemanusiaannya dengan menabrak tabu. Dan, sekali bunga dipetik, ia akan layu dan akhirnya mati, dipijak orang karena sudah tak berguna. Jalan belakang ’back street’ tak ubahnya seperti anak kecil yang merusak mainannya sendiri. Penyesalan pasti akan datang belakangan, menangispun tak berguna, menyesal tak mengubah keadaan, badan hancur jiwa binasa.

Cinta si gadis cantik dengan pemuda tampan masih menggelora. Mereka seakan menahan beban cinta yang sangat berat. Si gadis berpikir barangkali masih ada celah untuk bisa ’diikhtiarkan’ maka rencanapun disusun dengan segala kemungkinan terpahit. Maka si gadis mengutus seorang hambanya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pemuda tambatan hatinya:

”Aku tahu betapa engkau sangat mencintaiku dan karenanya betapa besar penderitaanku terhadap dirimu sekalipun cintaku tetap untukmu. Seandainya engkau berkenan, aku akan datang berkunjung ke rumahmu atau aku akan memberikan kemudahan kepadamu bila engkau mau datang ke rumahku.”

Setelah membaca isi surat itu dengan seksama, si pemuda tampan itu pun berpesan kepada kurir pembawa surat wanita pujaan hatinya itu.

“Kedua tawaran itu tidak ada satu pun yang kupilih! Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar bila aku sampai durhaka kepada Tuhanku. Aku juga takut akan neraka yang api dan jilatannya tidak pernah surut dan padam.”

Pulanglah kurir kekasihnya itu dan dia pun menyampaikan segala yang disampaikan oleh pemuda tadi.

Tawaran ketemuan? Dua orang kekasih? Sungguh sebuah tawaran yang memancarkan harapan, membersitkan kenangan, menerbitkan keberanian. Namun bila cinta dirampas oleh gelora nafsu rendah, keindahannya akan lenyap seketika. Dan berubah menjadi naga yang memuntahkan api dan menghancurkan harga diri kita. Sungguh heran bila saat ini orang suka menjadi korban dari amukan api yang meluluhlantakkan harga dirinya, dari pada merasakan keindahan cintanya.

“Sungguh selama ini aku belum pernah menemukan seorang yang zuhud dan selalu takut kepada Allah swt seperti dia. Demi Allah, tidak seorang pun yang layak menyandang gelar yang mulia kecuali dia, sementara hampir kebanyakan orang berada dalam kemunafikan.” Si gadis berbangga dengan kesalehan kekasihnya.

Setelah berkata demikian, gadis itu merasa tidak perlu lagi kehadiran orang lain dalam hidupnya. Pada diri pemuda itu telah ditemukan seluruh keutuhan cintanya. Maka jalan terbaik setelah ini adalah mengekalkan diri kepada ’Sang Pemilik Cinta’. Lalu diapun meninggalkan segala urusan duniawinya serta membuang jauh-jauh segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Memakai pakaian dari tenunan kasar dan sejak itu dia tekun beribadat, sementara hatinya merana, badannya juga kurus oleh beban cintanya yang besar kepada pemuda yang dicintainya.

Bila kerinduan kepada kekasih telah membuncah, dan dada tak sanggup lagi menahahan kehausan untuk bersua, maka saat malam tiba, saat manusia terlelap, saat bumi menjadi lengang, diapun berwudlu. Shalatlah dia dikegelapan gulita, lalu menengadahkan tangan, memohon bantuan Sang Maha Pencipta agar melalui kekuasaa-Nya yang tak terbatas dan dapat menjangkau ke semua wilayah yang tak dapat tersentuh manusia., menyampaikan segala perasaan hatinya pada kekasih hatinya. Dia berdoa karena rindu yang sudah tak tertanggungkan, dia menangis seolah-olah saat itu dia sedang berbicara dengan kekasihnya. Dan saat tertidur kekasihnya hadir dalam mimpinya, berbicara dan menjawab segala keluh-kesah hatinya.

Dan kerinduannya yang mendalam itu menyelimuti sepanjang hidupnya hingga akhirnya Allah memanggil ke haribaanNya. Gadis itu wafat dengan membawa serta cintanya yang suci. Yang selalu dijaganya dari belitan nafsu syaithoni. Jasad si gadis boleh terbujur dalam kubur, tapi cinta si pemuda masih tetap hidup subur. Namanya masih disebut dalam doa-doanya yang panjang. Bahkan makamnya tak pernah sepi diziarahi.

Cinta memang indah, bagai pelangi yang menyihir kesadaran manusia. Demikian pula, cinta juga sangat perkasa. Ia akan menjadi benteng, yang menghalau segala dorongan yang hendak merusak keindahan cinta yang bersemayam dalam jiwa. Ia akan menjadi penghubung antara dua anak manusia yang terpisah oleh jarak bahkan oleh dua dimensi yang berbeda.

Pada suatu malam, saat kaki tak lagi dapat menyanggah tubuhnya, saat kedua mata tak kuasa lagi menahan kantuknya, saat salam mengakhiri qiyamullailnya, saat itulah dia tertidur. Sang pemuda bermimpi seakan-akan melihat kekasihnya dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

“Bagaimana keadaanmu dan apa yang kau dapatkan setelah berpisah denganku?” Tanya Pemuda itu di alam mimpinya.

Gadis kekasihnya itu menjawab dengan menyenandungkan untaian syair:

Kasih…

cinta yang terindah adalah mencintaimu,

sebuah cinta yang membawa kepada kebajikan.

Cinta yang indah hingga angin syurga berasa malu

burung syurga menjauh dan malaikat menutup pintu.

Mendengar penuturan kekasihnya itu, pemuda tersebut lalu bertanya kepadanya, “Di mana engkau berada?”

Kekasihnya menjawab dengan melantunkan syair:

Aku berada dalam kenikmatan

dalam kehidupan yang tiada mungkin berakhir

berada dalam syurga abadi yang dijaga

oleh para malaikat yang tidak mungkin binasa

yang akan menunggu kedatanganmu,

wahai kekasih…

“Di sana aku bermohon agar engkau selalu mengingatku dan sebaliknya aku pun tidak dapat melupakanmu!” Pemuda itu mencoba merespon syair kekasihnya

“Dan demi Allah, aku juga tidak akan melupakan dirimu. Sungguh, aku telah memohon untukmu kepada Tuhanku juga Tuhanmu dengan kesungguhan hati, hingga Allah berkenan memberikan pertolongan kepadaku!” jawab si gadis kekasihnya itu.

“Bilakah aku dapat melihatmu kembali?” Tanya si pemuda menegaskan

“Tak lama lagi engkau akan datang menyusulku kemari,” Jawab kekasihnya.

Tujuh hari sejak pemuda itu bermimpi bertemu dengan kekasihnya, akhirnya Allah mewafatkan dirinya. Allah mempertemukan cinta keduanya di alam baqa, walau tak sempat menghadirkan romantismenya di dunia. Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka berdua menjadi pengantin syurga.

Subhanallaah! Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau cinta membutuhkan aturan. Tidak lain dan tidak bukan, agar cinta itu tidak berubah menjadi cinta yang membabi buta yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan hewani dan penuh kenistaan. Bila cinta dijaga kesuciannya, manusia akan selamat. Para pasangan yang saling mencintai tidak hanya akan dapat bertemu dengan kekasih yang dapat memupus kerinduan, tapi juga mendapatkan ketenangan, kasih sayang, cinta, dan keridhaan dari dzat yang menciptakan cinta yaitu Allah SWT. Di negeri yang fana ini atau di negeri yang abadi nanti.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21).

dari Raja’ bin Umar An-Nakha’i dll.

Selengkapnya »»

Agar Amal Tidak Sia-Sia


“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, juga taatlah kalian kepada RasulNya, dan janganlah kalian mensia-siakan (pahala) amal kalian“. (Muhammad: 33)

Memang Ramadhan dalam konteks waktu dan salah satu dari bulan Allah sudah berlalu meninggalkan kita. Namun semangat dan nilai Ramadhan sepatutnya tetap hadir menyertai keseharian kita. Ramadhan bukan “satu-satunya” bulan untuk beramal dan bertaqarub kepada Allah. Ramadhan hanya momentum untuk meningkatkan dan memaksimalkan kebaikan kita sebagai bekal menghadapi sebelas bulan berikutnya. Untuk itu, Ramadhan akan senantiasa hadir menyambangi kita pada setiap tahunnya. Alangkah rugi dan pelitnya seseorang yang hanya mau bersemangat beribadah dan beramal shalih hanya di bulan tertentu. Demikian juga tidaklah baik seseorang yang hanya mampu beribadah dengan baik dan maksimal di tempat tertentu yang mengandung nilai pahala lebih, seperti di Mekkah misalnya ketika menunaikan ibadah umrah atau haji, namun setelah pulang ke tanah air, kelesuan beribadah kembali terjadi di mana-mana.

Ayat ini oleh sebagian mufassir dijadikan dasar akan hilangnya pahala amal kebaikan yang berhasil dilakukan oleh seseorang jika setelah kebaikan itu ia kembali terjerumus ke dalam

dosa dan kemaksiatan, atau jika ia tidak mampu mempertahankan kebaikan tersebut di waktu berikutnya. Ayat ini juga secara korelatif memiliki hubung kait yang erat dengan ayat sebelumnya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 32).

Kontens kedua ayat tersebut intinya berbicara tentang perilaku yang dapat menyia-nyiakan amal kebaikan, Perbedaannya, pada ayat 32 ini ancaman Allah ditujukan kepada mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan memusuhi Rasulullah saw, sehingga pada ayat 33 Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menyia-nyiakan amal ketaatan mereka dengan apapun bentuknya seperti yang diancamkan oleh Allah kepada golongan yang ingkar sebelum mereka. Di sini bentuk kasih sayang Allah terhadap kekasih-Nya dari orang-orang beriman sangat ketara agar mereka tetap ta’at kepad-aNya kapanpun dan di manapun, tanpa ada batasan waktu dan tempat, apalagi alasan sempat dan tidak sempat.

Ayat ketiga yang berbicara tentang perilaku yang dapat mensia-siakan amal baik seseorang adalah surah Al-Hujurat: 2 yang bermaksud:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2).

Adab kepada Rasulullah saw. dalam berbicara yang disebutkan oleh ayat ini langsung diperintahkan oleh Allah sawt. yang ditujukan secara langsung juga kepada orang yang beriman, karena pada hakikatnya taat kepada Rasulullah adalah taat kepada Allah, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa’: 80).

Justeru tidak berakhlak baik kepada Rasulullah dalam segala bentuknya dapat mengakibatkan hapusnya pahala kebaikan yang dilakukan oleh orang yang beriman.

Terdapat banyak pendapat para ulama tentang sikap dan perilaku yang mengakibatkan terhapusnya amal baik seseorang.

Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi misalnya menyebutkan bahwa mensia-siakan amal adalah dengan melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Hasan Al-Bashri dengan berhujjah dengan surat Al-Hujurat: 2, bahwa tidak beradab kepada Rasulullah merupakan dosa besar yang dapat menghapus pahala amal shalih seseorang.

Imam Qatadah pula berpendapat bahwa amal kebaikan akan sia-sia apabila setelah itu diiringi dengan kembali melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan Ibnu Abbas berpandangan bahwa amal kebaikan itu dikhawatirkan akan hapus pahalanya jika disertai dengan riya’ dan ‘ujub (berbangga diri).

Secara umum pendapat mereka berkisar pada segala jenis kemaksiatan dan dosa, apapun bentuknya dikhawatirkan akan menghapus dan mensia-siakan amal taat yang pernah dilakukan oleh seseorang.

Pandangan para ulama di atas diperkuat oleh sebab turun ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Abul Aliyah. Abul Aliyah menukil riwayat tentang sebab turun ayat ini bahwa para sahabat sebelum turun ayat ini memandang tidak masalah berbuat dosa karena mereka telah beriman, seperti juga mereka menganggap bahwa tidak ada gunanya amal jika disertai dengan syirik. Maka turunlah ayat ini yang menegur mereka agar berhati-hati dengan setiap dosa karena dapat mensia-siakan amal.

Oleh karena itu, seorang muslim “yang cerdas” adalah seorang yang mampu meneruskan musim ketaatan pasca Ramadhan. Demikian pula, sejatinya orang yang telah mengukir prestasi dengan beramal dan menjalankan ketaatan yang maksimal di bulan Ramadhan, sangat disayangkan jika setelah melewatinya kembali masuk dalam kelompok pelaku maksiat. Sebagaimana orang-orang yang sudah berhasil merasakan lezatnya ketaatan, indahnya ibadah, sangat disayangkan jika harus kalah dan kembali pada kesengsaraan karena berlumuran dosa dan kemaksiatan. Padahal di antara tanda diterimanya suatu amal ibadah seseorang adalah jika dia dapat konsisten dan lebih banyak lagi melakukan amal tanpa melihat waktu atau bulan tertentu dan tempat tertentu yang memiliki keutamaan. “Jadilah hamba Rabbani, dan bukan hamba Ramadhani.” Dan itulah makna hakiki dari firman Allah swt, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr: 99).

So, jangan sia-siakan kebaikan ini dan jadikan “musim Ramadhan” terus mengisi waktu-waktu kita. Amin

Selengkapnya »»

Mendekatkan Diri Kepada Allah

Bagi setiap muslim, apalagi dai, berkewajiban untuk mendekatkan diri kepada Allah agar meraih kecintaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan: “Pendekatan diri hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah dengan sesuatu yang Aku wajibkan padanya. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan nafilah (ibadah tambahan), sehingga Aku mencintainya.” (Bukhari)

Dalam hadits ini menunjukkan bahwa ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah melaksanakan kewajiban. Kewajiban terdiri dari Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Fardhu Ain yaitu kewajiban yang mengikat setiap individu muslim, seperti sholat lima waktu, zakat, puasa, haji jika mampu, berbakti kepada orang tua, memberi nafkah pada anak istri dan lain-lain. Sedangkan Fardhu Kifayah yaitu kewajiban kolektif jika sudah dilakukan oleh orang lain maka gugurlah kewajiban tersebut, seperti menyelenggarakan jenazah, menuntut sebagian ilmu tertentu, dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad dan lain-lain. Pada saat tertentu Fardhu Kifayah dapat berubah menjadi Fardhu Ain, seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad.

Fardhu adalah pokok sedangkan nafilah adalah cabang. Nafilah dapat melengkapi ibadah fardhu dan dapat menutupi kekurangannya. Seseorang tidak dapat disebut

mengerjakan ibadah nafilah jika meninggalkan yang fardhu. Oleh karena itu jika orang beriman melaksanakan yang fardhu kemudian diteruskan dengan ibadah tambahan, maka Allah akan mencintainya. Sehingga sangat salah orang yang menyibukkan pada ibadah yang sunnah sementara meninggalkan yang wajib.

Jadi, secara umum pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan cara beribadah kepada Allah.

IBADAH

Ibnu Taimiyah berkata, ibadah adalah kata yang mencakup semua kebaikan, yaitu segala perkataan dan perbuatan baik lahir maupun batin yang diridhai dan dicintai Allah. Ibadah adalah risalah dan misi besar manusia. Hanya untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin (lihat Adz-Dzariyat: 56). Dan hanya untuk ini pula Allah mengutus para nabi dan rasul (lihat An-Nahl: 36). Rasulullah saw. bertanya pada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah?” Saya berkata, “Allah dan rasul-Nya yang paling tahu.” Rasul saw. bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya; dan hak hamba atas Allah adalah tidak mengadzab orang yang tidak menyekutukan Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Tetapi sangat disayangkan, jika kita melihat realitas manusia, mayoritas mereka musyrik atau menyekutukan Allah dengan mahluk-Nya. Bangsa-bangsa besar yang menempati bumi ini mayoritasnya musyrik kepada Allah, mayoritas manusia yang menempati benua Amerika, Eropa, Australia dan juga Asia adalah orang-orang yang mensyekutukan Allah. Sekitar 6 milyar penduduk dunia, hanya ¼ nya saja yang mengakui muslim. Dan umat Islam pun masih banyak yang belum menyembah Allah, minimal dengan menegakkan sholat. Melihat realitas ini, maka kewajiban yang paling utama bagi orang-orang beriman adalah berdakwah mengajak manusia agar beriman dan beribadah kepada Allah saja.

Orang-orang beriman yang mengenal Allah dengan sebenarnya, mengenal hakekat dirinya dan mengetahui risalahnya, maka akan melaksanakan ibadah seoptimal mungkin, tetapi pada saat yang sama mereka sangat takut pada Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Mu’minun: 57-61, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.

SYARAT IBADAH

Dalam beribadah dan melakukan pendekatan diri kepada Allah, sangat terkait dengan syarat-syaratnya agar ibadahnya diterima. Dan syaratnya hanya dua yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasul saw. atau Syariah Islam. Inilah inti dari makna syahadat yang kita ucapkan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.” Berkata Fudhail bin Iyadh mengomentari surat Al-Mulk: 2, “Ahsanu ‘amala (Amal yang paling baik) adalah akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar).” Berkata, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima sehingga amal itu harus ikhlas dan benar.” Iyadh berkata, “Ikhlas dilakukan karena Allah Azza wa Jalla, dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.”

Ibadah yang dilakukan umat Islam harus selalu mengacu pada dua syarat tersebut; jika tidak, maka amalnya sia-sia bahkan dapat mengarah pada dosa. Rasul saw. bersabda, “Siapa yang mengada-ada pada urusan agama ini, sesuatu yang sebelumnya tidak ada, maka tertolak.” (Bukhari dan Muslim). Banyak sekali tradisi yang berkembang di tengah umat Islam, dan mereka melakukannya seolah-olah ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. padahal tidak ada landasannya sama sekali. Di sinilah pentingnya para ulama dan para dai yang mengajarkan Islam kepada umatnya dengan penuh hikmah dan kesabaran, sehingga umat terhindar dari segala macam syirik, khurofat, takhayyul dan bid’ah.

HUKUM TAKLIFI

Dalam melaksanakan ibadah, para ulama usul menetapkan hukum taklifi yang mengikat bagi para mukallaf atau muslim yang sudah dewasa. Dengan memahami status hukum dalam setiap perbuatan, maka setiap muslim berada dalam kejelasan dalam setiap urusannya. Para ulama mendefinisikan hukum taklifi atau hukum yang terkait dengan perbuatan yang dilakukan setiap muslim yaitu arahan Syariah (khitab syari’i) yang terkait dengan perbuatan setiap muslim yang mukallaf (baligh), baik bersifat permintaan untuk melaksanakan, permintaan untuk meninggalkan maupun pilihan antara melaksanakan atau meninggalakan. Permintaan yang bersifat mengikat atau harus disebut wajib, sedangkan yang tidak mengikat disebut mandub atau sunnah. Sedangkan permintaan untuk meninggalkan yang bersifat harus disebut haram dan yang tidak bersifat harus disebut makruh. Adapun pilihan antara melaksanakan dan meninggalakan disebut mubah. Oleh karena itu hukum dalam Fiqih Islam terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.

Setiap muslim yang beriman pada hukum Islam dan memahami status hukum suatu perbuatan dapat mengetahui prioritas kerja atau amal yang harus dilakukan. Sehingga baginya segala sesuatu yang harus dilakukan dalam kehiduan dunia menjadi sangat jelas dan tegas. Tetapi manakala seorang muslim tidak memahami status hukum maka semuanya akan mejadi kabur dan samar, yang pada akhirnya dia akan mengalami kebingunagan dan kekacauan dalam hidupnya karena tidak ada arahan dan prioritas kerja yang harus dia lakukan dalam kehidupannya di dunia.

Wajib adalah suatu perintah Syariat yang harus dilakukan dan bersifat mengikat, jika ditinggalakan maka akan mendapat sanksi atau dosa dan jika dilaksanakan akan mendapat pahala atau balasan dari sisi Allah. Wajib terbagi menjadi dua; wajib aini, yaitu kewajiban yang mengikat atas setiap individu muslim, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji. Dan wajib kifayah, yaitu kewajiban yang mengikat atas sekelompok umat Islam.

Mandub adalah perintah Syariat yang sebaiknya dilaksanakan dan tidak bersifat mengikat, atau sesuatu yang jika dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak terkena sanksi. Mandub disebut juga sunnah, tatowwu’, mustahab, nafilah dan ihsan. Mandub memiliki beberapa tingkatan; Sunnah Muakkadah, yaitu sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Rasul saw. tetapi tidak sampai wajib, seperti sholat witir, sholat rawatib dan lain-lain. Sunnah ghairu Muakkadah, yaitu sunnah yang tidak selalu dilakukan oleh Rasul saw. seperti sedekah secara umum. Sunnah yang lain adalah mencontoh Rasul saw. pada masalah tradisi yang tidak terkait langsung dengan Syariat seperti makan, minum dan berpakaian ala Rasul saw.

Haram adalah perintah Syariat untuk meninggalkannya dan bersifat harus atau mengikat dan jika tidak maka akan mendapat sanksi atau dosa. Haram terbagi menjadi dua, yaitu haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Haram li dzatihi diharamkan karena jelas-jelas menimbulkan bahaya langsung seperti makan bangkai, berzina, minum khomr, mencuri dll. Sedangkan haram li ghairihi, pengharamanannya karena tidak menimbulkan bahaya secara langsung seperti melihat aurat wanita, hukumnya tetap haram karena mengarahkan pada perzinahan. Haram li ghairihi disebabkan juga karena terkait dengan momentum atau kasus tertentu seperti berdagang saat adzan shalat Jum’at bagi lelaki, atau shalat bagi wanita yang haidh.

Haram Li Dzatihi dan Haram Li Ghairihi memiliki perbedaan pada dua hal, pertama pada transaksi atau akad. Haram li dzatihi membatalkan akad sedangkan haram li ghairihi tidak. Kedua, haram li dzatihi tidak dapat menjadi mubah kecuali karena darurat. Sedangkan haram li ghairihi menjadi mubah cukup karena hajat.

Makruh adalah perintah Syariat untuk meninggalkannya yang tidak harus atau mengikat. Apabila pekerjaan itu ditinggalkan maka akan mendapat imbalan pahala dan jika dilakukan tidak mendapatkan apa-apa.

Adapun mubah adalah pilihan Syariat untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Mubah dapat diketahui dari tiga hal, yaitu jika melakukan atau meninggalkan tidak ada dampak sanksinya, nash tidak menunjukkan haram dan nash menunjukkan halal.

Namun demikian, seorang muslim yang baik berupaya untuk mengharap kebaikan dan pahala pada amal-amal yang mubah, yaitu dengan niat yang baik dan mengarahkan yang mubah untuk sarana taat pada Allah. Begitu juga dia berusaha meninggalkan sebagian yang mubah karena khawatir jatuh pada yang diharamkan.

KONDISI MUKALLAF (MUSLIM)

Setiap muslim yang mukallaf tidak terlepas dari 3 kondisi. Ketika muslim dalam kondisi mendapatkan ni’mat Allah, maka mereka harus bersyukur. Dalam kondisi mendapat ujian atau cobaan, mereka harus bersabar. Dan dalam kondisi berbuat dosa, mereka harus beristighfar dan bertaubat. Ketika ketiga pensikapan tersebut terus dilakukan oleh setiap muslim dalam menghadapi kondisinya, maka dia akan mendapatkan puncak kebahagiaan.

Bukankah setiap muslim hidup dalam limpahan nikmat Allah? Allah telah menciptakannya sebagai manusia, makhluk yang paling mulia. Kemudian diberinya rezeki yang baik-baik. Lahir ke dunia dalam kondisi tidak memiliki apa-apa, dan sekarang banyak mendapatkan fasilitas dari Allah. Selanjutnya Allah memberikan nikmat yang paling besar yaitu nikmat hidayah dan keimanan. Dengan nikmat itu setiap muslim dapat berjalan di muka bumi dengan arahan yang jelas. Inilah kondisi yang dialami setiap muslim, oleh karenannya mereka harus sentiasa bersyukur kepada Allah dengan sepenuh syukur. Mengakui bahwa seluruh nikmat datang dari Allah, mengungkapkannya lewat lisan dan membuktikannya dengan ketaatan dan pengabdian kepada Allah.

Kondisi kedua yang tidak akan lepas dari setiap muslim juga adalah ujian. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Dalam ayat ini Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ketika menghadapi ujian. Dan sejatinya setiap muslim akan mendapat ujian sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas.

Dan kondisi ketiga, yang tidal lepas dari setiap muslim adalah khilaf dan melakukan dosa. Inilah ciri khas manusia secara umum, karena mereka adalah anak-cucu Adam dan Hawa yang pernah melakukan dosa. Tetapi sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa adalah beristighfar dan bertaubat. Dan diantara banyak bentuk istighfar ada tuannya istighfar atau Sayyidul Istighfaar, setiap muslim harus dapat menghafal dan membacanya secara rutin, ” Ya, Allah Engkaulah Rabbku tiada ilah kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku, aku adalah hamba-Mu, dan aku akan berusaha tetap komitmen dijalan-Mu sekuat tenagaku. Aku mengakui segala ni’mat-Mu padaku, dan aku mengakui dosaku, ampunilah aku. Karena tidak Dzat yang dapat mengampuni kecuali Engkau”.

Ketika muslim dan muslimah senatiasa dalam sikap seperti ini, niscaya mereka akan mendapatkan kebahagiaan, bukan hanya di dunia, tetapi di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan istiqomah pada kita. Amin.

Selengkapnya »»

3 Langkah Menjadi Manusia Terbaik

Ada hadits pendek namun sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya: sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.

Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Suyuthi.

Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua saling

berketergantungan. Saling membutuhkan.

Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.

Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.

Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.

Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih. Tidak punya vested interes.

Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan. Pertama, karena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw. pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?

Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak heran jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.

Ketiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.

Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa pamrih, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.

Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.

Untuk bisa menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.

Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.

Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw. mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.

Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.

Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan begitu kita bisa hadir untuk orang-orang di sekitar kita.

Selengkapnya »»

Si Tuli dari “Tanah Matahari Terbit”

“Berbicaralah yang keras, lebih keras lagi karena pendengaranku kurang tajam.” Begitu permintaan Syeikh Hatim kepada setiap warga kota Balkh yang kebetulan menjadi lawan bicaranya pada event apapun. Warga Balkh mengenalnya sebagai ‘ulama yang tuli, karena kata-kata itu hampir diucapkan berulang-ulang saat dialog berlangsung. Kata-kata tersebut selalu diucapkan oleh Hãtim dan itu sudah menjadi kebiasaannya, karena sudah 15 tahun lamanya ia selalu mengucapkan hal itu kepada siapa saja yg menjadi lawan bicaranya.

Sungguh komunikasi yang melelahkan bagi kedua belah pihak. Yang satu merasa sudah begitu jelas mengucapkan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Ternyata yang lain tak satupun

kata dapat dimengerti. Apalagi hal itu dialami dalam waktu yang cukup lama.

Hatim bukan tidak mendengar. Dia tidak tuli, budek apalagi bolot. Dia tidak punya masalah dengan pendengarannya. Dia masih jelas mendengar alunan adzan dikumandangkan. Gemericik air saat orang-orang berwudhu di masjidnya. Desir angin yang menimbulkan suara gesekan pada pelepah kurma di halaman rumahnya masih jelas terdengar. Bahkan jarum jatuh pun telinganya masih menangkap suaranya.

Hãtim melakukan itu bukan untuk mencari sensasi atau tanpa tujuan sama sekali. Dia melakukannya dengar sadar, walau karena perbuatannya itu orang kemudian menjulukinya ‘Si Tuli’. Anehnya julukan yang biasanya untuk merendahkan itu buatnya justru merupakan gelar kehormatan yang mengabadikan akhlak terpujinya sehingga ia dihargai oleh umat manusia sepanjang masa.

Gelar buruk, namun terhormat itu didapatkan Hatim ketika pada suatu saat seorang wanita paruh baya datang ke tempat yang biasa ia gunakan untuk pelajaran yang juga merupakan tempat penyimpanan ratusan kitab-kitabnya. Wanita itu bermaksud menanyakan suatu masalah yang bermaksud mendapatkan jawabannya dengan segera. Tanpa disengaja, wanita itu telah mengeluarkan angin -maaf kentut, pent– dengan sedikit keras di hadapan Hatim. Maka wanita itupun menjadi salah tingkah. Dia sadar insiden kecil itu terjadi di hadapan seorang tokoh besar dan berpengaruh di negerinya.

Maklum dalam pergaulan ‘buang angin’ di depan umum tentu perbuatan yang memalukan. Intinya dalam pergaulan hal itu adalah menyangkut etika, moral dan sopan santun. Namun di jaman sekarang apakah itu masih diangap kesopanan. Lihat saja dalam sebuah tayangan komedi Extravaganza di Trans TV perbuatan tabu dan ‘menjijikkan’ itu dengan berani didemonstrasikan di depan umum dan menjadi bahan tertawaan. Anehnya adegan orang kentut lengkap dengan suara khasnya dilakukan sampai dua kali. Adegan tersebut jelas tidak lucu, tidak cerdas, tidak sopan dan berkesan memuakkan. Sungguh, adegan yang tidak sepantasnya dipertontonkan. Lebih miris lagi acara tersebut menyabet Panasonic Award yang mendudukkannya sebagai acara paling digemari penonton. Boleh jadi sekarang kentut (dan perilaku busuk lainnya) sudah menjadi komoditi.

Akan tetapi pada situasi sulit yang dihadapi wanita ini, Hatim adalah orang yang bijak, ia sangat menguasai keadaan dan mengerti betul bagaimana perasaan wanita itu. Sudah barang tentu wanita ini sangat malu dengan tingkahnya di hadapan Hatim. Namun Hatim pura-pura tidak tahu dengan apa yang tengah terjadi padanya.

“Hai, keraskanlah suaramu, karena aku tidak mendengar apa yang kamu bicarakan”, Hatim berpura-pura tuli agar wanita itu menyangkanya tidak mendengar. Insiden tidak disengaja itu membuat wanita itu malu, kemudian wanita itu pun mengulangi ucapannya dengan agak keras dan Hatim pun menjawabnya dengan suara agak keras pula.

Setelah urusan mereka beres, wanita itu pulang dengan gembira karena merasa terselamatkan setelah memastikan bahwa ternyata Hatim yang diajak bicara itu tuli. Semenjak peristiwa itu, selama kira-kira 15 tahun wanita itu masih hidup, selama itu pula Hatim tetap berlagak tuli. Ini dilakukannya agar tak ada seorang pun yang memberitahu wanita itu perihal kondisi yang sebenarnya. Setelah wanita itu meninggal barulah Hatim menjawab semua pertanyaan secara spontan karena sesungguhnya pendengarannya masih normal selayaknya orang lain.

Demi menjaga harga diri orang lain, Hãtim begitu ikhlas ditambah laqob al-Ashom di belakang namanya menjadi Hatim al-Ashom, meskipun pendengaran beliau sehat wal afiat. Begitulah kemudian para koleganya memberinya ¬laqab (julukan): ” الأصم ” Si Tuli. Sungguh mulia budi pekerti Hatim, sehingga ia rela untuk berpura-pura selama 15 tahun demi menjaga perasaan wanita itu. Hal ini diceritakan dalam kitab Al-Mau’izhotul ‘Usfûriyyah (Pesan Burung-burung Manyar).

Begitulah Hatim dengan kerendahan hatinya yang justru mengungkapkan kekuatan jiwanya. Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk.Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang di atasnya merasa ‘oke’ dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Begitulah Syeikh Hatim yang nama aslinya Abu Abdurrahman Hatim Bin ‘Umwan Bin Yusuf Al Ashom, lebih dikenal Hatim Al-Ashom. Lahir di Balkh dan wafat di Wasyjard dekat Tirmiz pada tahun 237 H/852 M., termasuk salah seorang tokoh besar di Khurasan. la murid dari Syeikh Syaqiq Al-Balkhi (Abu Ali Bin Ibrahim Al-Azadi ) penduduk kota Balkh. Syeikh Syaqiq adalah ‘ulama tersohor di Khurasan yang juga menemani Ibrahim bin Adam dan belajar ad-din darinya. Ia juga mengisnadkan hadits dari Anas ra.

Khurasan negeri yang menjadi tumpah darahnya memang gudang para ulama. Dahulunya wilayah ini dikuasai Kaisar Persia, kemudian ditaklukkan oleh pasukan kaum muslimin dibawah komandan perang Ahnaf bin Qais sewaktu kepemimpinan Al Faruq ra. Hampir seluruh negara di Asia Selatan dahulunya termasuk wilayah Khurasan ini. Kini, nama Khurasan tetap abadi menjadi sebuah nama provinsi di sebelah Timur Iran. Luas provinsi itu mencapai 314 ribu kilometer persegi. Khurasan Iran berbatasan dengan Republik Turkmenistan di sebelah Utara dan di sebelah Timur dengan Afganistan. Dalam bahasa Persia, Khurasan berarti ‘Tanah Matahari Terbit.’

Hatim al-Ashom bukan nama asing dalam khazanah tasawuf. Hatim adalah ulama mujahid yang amat disegani, disamping juga profesinya sebagai pedagang. Wibawanya memancar karena kezuhudan, ketekunan ibadah dan pembelaannya terhadap rakyat kecil. Dalam perjuangan mempertahankan Islam dengan kekuatan senjata pun beliau terlibat dalam banyak peperangan dan ikut serta di tengah kecamuk peperangan itu.

Pernah suatu saat, Hatim bersama rombongan melakukan ibadah Haji. Karena perbekalan yang dibawa sedikit, rombongan itu memutuskan bermalam di rumah seorang saudagar yang pemurah. Keesokan harinya, tuan rumah pun bertanya kepada Hatim.

“Apakah tuan ada keperluan setelah ini? Masalahnya kami bermaksud mengunjungi Syeikh kami yang sedang sakit,” Tuan rumah menjelaskan.

“Mengunjungi orang sakit banyak pahalanya. Apalagi memandang wajah seorang ulama adalah ibadat. Saya akan ikut bersama tuan.” Komentar Hatim menimpali.

Bersama saudagar itu, Hatim berkunjung ke rumah Muhammad Bin Muqathil, seorang ulama terkenal di negeri Ar-Ray. Hatim tercenung memandangi rumah sang Syeikh (Muqathil). Rumah itu begitu luas, megah dan sangat indah. Kamar tempat tidur nya pun begitu mewah. Di tengah keterperangahannya Hatim dipersilahkan duduk, tetapi dia tetap berdiri.

“Barangkali Anda perlu sesuatu? Tanya Syeikh Muqathil kepada Hatim.

“Betul, ada masalah yang ingin saya tanyakan.” Cetus Hatim.

“Bertanyalah!” Tegas Syeikh itu kepada Hatim.

“Dari manakah tuan dapatkan ilmu tentang ini semua?” Tanya Hatim sambil menunjuk sekelilingnya.

“Dari orang yang dapat dipercaya, dari para sahabat Nabi, dari Rasulullah, dari Jibril dan dari Allah swt.” Jawab Syeikh Muqathil.

“Apakah dari guru-guru tuan, dari sahabat Nabi, dari Allah swt tuan mendapatkan pelajaran supaya tuan hidup mewah?”

“Apakah mereka mengajarkan bahwa memiliki rumah besar akan meninggikan derajat kita di hadapan Allah?” Hatim menyelidik.

“Tidak, bahkan mereka mengajarkan kami zuhud, mencintai akhirat, menyayangi orang miskin. Dengan itulah orang mendapat kedudukan tinggi di hadapan Allah.” Jawab Syeikh Muqathil.

” Bila benar begitu, siapakah guru tuan sebenarnya?”

“Para Nabi, sahabat, orang-orang sholeh atau fir’aun dan Namrud yang mendirikan gedung bertahtakan pualam?”

Kalimat nasehat itupun meluncur saja dari kecerdasan Hatim. Kabarnya sakit Ibnu Muqhatil makin parah. Penduduk Ar-Ray gempar. Mereka mendatangi Hatim, dan mengatakan: “Hai Tuan, ada ‘ulama yang lebih mewah dari Ibnu Muqhatil, namanya Al-Tanafisi. Dia tinggal di Qazwin. Berilah dia juga peringatan.”

Hatimpun lalu datang ke Qazwin, menemui Al-Tanafisi.

Sesampainya di rumah megah sang ulama, ia bergumam, “Inikah sosok pewaris Nabi?” Lalu diketuknya pintu rumah dan meminta izin bertemu dengan sang ulama. Dilihatnya isi rumah dipenuhi dengan perabotan mahal dan sang ulama sendiri tengah berbaring di atas ranjang empuk, dikipasi bujang-bujangnya.

“Guru, ajarkan saya cara wudhunya Rasulullah,” Pinta Hatim kemudian.

Di atas ranjang, sang ulama lalu mencontohkan cara berwudhu. Hatim menirunya dengan sedikit perbedaan. Sang ulama menegur, “Basuhlah sebanyak tiga kali, jangan lebih karena itu merupakan tabdzir (pemborosan)“.

Beroleh kesempatan, Hatim menukas lantang, “Guru, anda beroleh ilmu ini dari tabi’in, tabi’in dari sahabat, dan sahabat dari Rasulullah. Pernahkah beliau mengajarkan hidup boros dan mewah seperti ini? Jika Guru berkata kelebihan satu basuhan saja dianggap tabdzir, lalu bagaimana dengan semua kemewahan ini?”

Imam Ahmad mendengar berita ini, maka beliau langsung mendatangi Hatim dan meminta nasehat. Imam besar pendiri Madzhab Hambali ini, tidak segan-segan bertanya kepadanya. “Subhanallah, alangkah cerdasnya Hatim, ” kata Imam Ahmad dengan penuh kagum.

Mencermati formulasi dialog yang bernuansa nasehat dengan kalimat-kalimat retoris ini wajar bila Imam Ahmad merasa kagum dengan kecerdasan Hatim. Bukan saja cerdas, tetapi juga berani. Persis seperti sifat air yang dipakai berwudhu, Hatim laksana air suci yang mensucikan (Thoohirun Muthohhirun Ghairu Makhruuhun ). Dia menjaga dirinya dari kemaksiatan. Dia juga mengingatkan orang lain untuk memelihara kesucian. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ‘Sok alim’, dia dengan berani melakukan kontrol sosial. Dia mempertahankan keyakinannya dengan meninggalkan arus dengan tegas, dia menantang arus. Dan bila dia menuntut ilmu dikuti dengan tekun. Dia tampil mengingatkan para ulama yang lupa. Dia tidak membenci orang yang mencari nafkah dengan halal. Dia juga tidak senang dengan orang-orang yang hidup mewah, apalagi bila orang itu adalah ulama. Dia menghujat para ulama yang begitu sensitive membincangkan cara berwudhu, tetapi tidak peka terhadap persoalan kemasyarakatan. Ulama yang berang bila melihat bid’ah dalam ibadat, tetapi sangat tenang ketika melihat disparitas sosial-ekonomi di sekitarnya. Kepada ulama seperti inilah Hatim datang.

Selengkapnya »»

Sederhana dalam Nasihat

Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah berkata, Ibnu Mas’ud r.a. mengingatkan (berceramah) kami setiap hari Kamis. Seseorang berkata, “Hai Abu Abdurrahman, aku ingin Anda mengingatkan kami setiap hari.” Ia menjawab, “Yang menghalangi aku untuk hal itu adalah

karena aku tidak suka membuat kalian bosan. Aku memperjarang nasihat untuk kalian sebagaimana Rasulullah juga memperjarang nasihatnya untuk kami karena khawatir membosankan kami.” (Muttafaq Alaihi)

Abu Yaqdzan Ammar bin Yasir meriwayatkan, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,

إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرِ خُطْبَتِهِ مَئِنَّة مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا الْخُطْبَةَ

“Lamanya shalat seseorang dan pendeknya khutbahnya adalah pertanda ilmunya. Maka, perlamalah shalat dan perpendeklah khutbah.” (Muslim)

Muawiyah bin Hakam As-Sulami r.a. berkata, “Ketika kami shalat bersama Rasulullah saw. tiba-tiba ada seseorang bersin. Aku katakan, ‘Yarhamukallah.’ Tiba-tiba orang-orang memandangiku. Aku pun berkata, ‘Brengsek, mengapa kalian memandangiku seperti ini?’ Tiba-tiba mereka semua menepuk paha mereka. Ketika mereka mendiamkanku, aku pun diam. Setelah Rasulullah saw. selesai shalat, demi (Allah) atas ayah dan ibuku, tidak pernah aku melihat seorang pendidik sebelum dan sesudah ini yang lebih baik dari beliau. Demi Allah, beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, dan tidak mencaciku. Beliau hanya berkata, ‘Shalat ini tidak boleh dicampur dengan ucapan manusia sedikitpun. Ia berisi tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur’an.’ Atau seperti apa yang disabdakan Rasulullah. Aku katakan, ‘Ya Rasullullah, baru saja aku berada pada kejahiliyahan lalu Allah menunjukkan Islam. Di antara kami terdapat banyak orang yang masih mendatangi dukun-dukun.’ Beliau bersabda, ‘Kalau begitu kamu jangan ikutan datang.’ Aku juga katakan, ‘Di antara kami masih ada juga orang-orang yang melakukan tathayyur.’ Beliau bersabda, ‘Hal itu mereka dapatkan di dalam dada mereka. Jangan sampai hal itu menghalangi mereka.’” (Muslim)

‘Irbadh bin Sariyah r.a. meriwayatkan, Rasulullah menasihati kami sebuah nasihat yang membuat hati bergetar dan mata menangis. Hadits ini telah disebutkan di bab Perintah Menjaga Sunnah. Lihat hadits 157. Tirmidzi berkata, hadits ini hasan shahih.

Selengkapnya »»

Seorang Sultan Tanpa Tahta dan Istana

dakwatuna.com - “Ya Allah, pindahkanlah diriku dari kehinaan maksiat kepadaMu menuju keagungan taat kepadaMu!” Sepenggal doa dari para pengembara pencari kemuliaan hakiki.

Di atas jalan yang tak berujung, di bawah langit yang tak bertepi. Lelaki gagah berani itu memulai pengembaraannya, memasuki labirin kehidupan demi setitik asa, mengharap ampunanNya, mengharap keridhoaanNya. Buliran air mata bagai permata putih, satu persatu berjatuhan, dengan segenap rasa di jiwa, dengan setumpuk dosa yang melekat di dada, mengalir membasahi setiap langkah-langkahnya yang tak pernah lelah. Rangkaian

doa-doa itu dibacanya dengan penuh kedalaman jiwa.

Ia seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya dan berkelana untuk menjalani kehidupan barunya dalam kesahajaan. Ia memperoleh makanannya di Suriah dari hasil kerja keras yang jujur hingga wafatnya pada tahun 165 H/782 M. Sejumlah catatan menyatakan bahwa ia syahid dalam sebuah ekspedisi laut menaklukkan Byzantium.

Awalnya, dia adalah seorang Raja Besar, ‘Jihan Padishah’. Padishah, salah satu Sultan terkaya dan seluruh dunia berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, dia pun bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu dikawal 80 orang pengawal yang selalu mengiringi di depan dan di belakangnya. Untuk menjaga kawanan dombanya saja, dia menempatkan 12.000 ekor anjing dan setiap ekor anjing disematkan satu kalung emas! Jadi bisa dibayangkan berapa banyak kawanan domba yang dia miliki? Dan dia juga memiliki ketertarikan lain sebagai hobbinya yaitu berburu.

Malam kian larut di kota Arkian persis pada pergantian bulan. Di langit tidak tampak sepotong bulan. Hanya ada kerlipan bintang yang menyebar. Dingin tak jua menepi, sementara rasa kantuk menguasai seluruh penduduk kota tidak terkecuali penghuni istana. Namun tiba-tiba suara gaduh memecah kesunyian menyusul suara orang berlari terbirit-birit di atas kubah istana.

Istana megah yang dihuni seorang Sultan di negeri Balkh itu, heboh! Ibrahim bin Adham mendengar di atas loteng kamarnya ada seseorang yang reseh mencari sesuatu. Aksi orang itu terbilang nekat karena istana dalam pengawalan yang ketat. Tidak kurang dari 80 orang pengawal, 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Ibrahim pun menegur orang yang berani mengganggu keasyikan tidurnya itu. Sebagai seorang raja muda, ia sangat terganggu oleh suara berisik itu, maka secara spontan ia berteriak, ”Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ibrahim bin Adham. Sang pengganggu menjawab enteng, ”Sedang mencari ontaku yang hilang!” Mendengar jawaban itu, nyaris Ibrahim bin Adham naik pitam. ”Bodoh, di mana akalmu?” katanya membentak. ”Mana mungkin kau menemukan onta di atas loteng.”

Tanpa diduga sang pengganggu menjawab lebih seenaknya: ”Begitu juga kau, mana mungkin engkau menemukan Tuhan di istana dengan berpakaian sutera dan tidur di alas tilam emas!”

Mendengar jawaban singkat yang amat tenang itu, Ibrahim bin Adham kemudian terdiam. Kata-kata asing dari langit-langit istananya itu sungguh menyentuh nuraninya; suaranya mantap, kalimatnya jelas dan logikanya sangat kuat, sehingga keseluruhan kata-kata itu menjadi sangat berwibawa dan menggelitik jiwanya. Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Kejadian itu membuatnya sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya hingga fajar datang.

Seperti kebiasaannya, menjelang siang Ibrahim berada di atas singgasananya untuk mendengar pengaduan dan masalah rakyat jelata. Tetapi hari itu keadaannya berlainan, dirinya gelisah dan banyak termenung. Para menteri kerajaan berdiri di tempat mereka masing-masing; budak-budaknya berdiri berjajar berhimpitan. Semua warga istana hadir.

Tiba-tiba, seorang lelaki dengan raut wajah yang sangat buruk memasuki ruangan, sangat buruk untuk dilihat sehingga tak ada seorang pun dari para pejabat dan pelayan kerajaan yang berani menanyakan namanya; lidah-lidah mereka tertahan di tenggorokan. Lelaki ini mendekat dengan khidmat ke singgasana.

“Apa maumu” tanya Ibrahim.

“Aku baru saja tiba di penginapan ini,” ujar lelaki itu.

“Ini bukan penginapan. Ini istanaku. Kau gila,” teriak Ibrahim.

“Siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” tanya lelaki itu.

“Ayahku,” jawab Ibrahim.

“Dan sebelumnya?”

“Kakekku?”

“Dan sebelumnya?”

“Buyutku.”

“Dan sebelumnya?”

“Ayah dari buyutku.”

“Ke mana mereka semua pergi?” tanya lelaki itu.

“Mereka telah tiada. Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.

“Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, di mana seseorang masuk dan yang lainnya pergi?”

Setelah berkata begitu, lelaki asing itu pun menghilang. Ia adalah Nabi Khidhr as. Api berkobar semakin dahsyat di dalam jiwa Ibrahim, dan seketika kesedihan menatap dalam hatinya.

Kedua kejadian itu, di malam dan siang hari, sama-sama misterius dan tidak dapat dijelaskan oleh akal. Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya untuk berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikit berkurang. Akhirnya Ibrahim berkata, “Pasang pelana kudaku. Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah kualami hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ini akan berakhir?”

Ibrahim bin Adham (إبراهيم بن ادھم) dan rombongan terus melintasi padang pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia memacu kudanya dengan cepat sehingga sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan bingung, ia terpisah dari para Pengawalnya. Dalam mencari jalan keluar dia melihat seekor rusa. Ibrahim segera memburu rusa itu. Belum sempat berbuat apa-apa rusa itu berbicara kepadanya:

“Ibrahim, kamu tidak diciptakan untuk bersenang-senang Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk diadili)?(Al Qur’an Surat Al-Mu’minun 23:115). Takutlah pada Allah dan persiapkan dirimu untuk menghadapi kematian.”

Ibrahim yang masih dalam ketakutan itu tiba-tiba terkejut dengan kata-kata itu. Dia langsung sadar dan berfikir selama ini untuk apa dirinya diciptakan Allah ke dunia. Sekarang keyakinan serta keimanannya telah tertanam di dalam dadanya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air mata penyesalannya selama ini. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam keadaan panas terik itu, Ibrahim melepaskan kudanya dan memutuskan untuk berjalan kaki. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang penggembala yang sedang menjaga sekumpulan kambing-kambingnya. Gembala itu mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan. Ibrahim melihat lebih dekat, dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya.

Tanpa pikir panjang Ibrahim menanggalkan apa yang selama ini dikenakannya dan memberikan kepada gembala itu, berupa jubah yang bersulam emas dan mahkota yang bertahtakan permata, sekaligus dengan domba-dombanya. Sedangkan Ibrahim berganti mengenakan pakaian kasar dan penutup kepala budak itu. Dan tanpa riskan Ibrahim sendiri mengenakan pakaian yang sehari-harinya dikenakan si penggembala kambing itu.

Ibrahim bin Adham meninggalkan kerajaan beserta istananya yang mewah karena rasa bersalah dan malu menyadari masih ada rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun pencerahan itu membuat ia menikmati manisnya iman walau pakaiannya kini adalah kulit domba alih-alih sutra China, tidurnya kini berbantalkan akar pohon yang tak lagi bulu angsa berlapis beludru. Begitulah Ibrahim menukar kerajaan beserta isinya untuk sebuah kenikmatan iman.

Dengan berjalan kaki Ibrahim mengembara melintasi gunung dan menyusuri padang pasir yang luas sambil mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah dia di sebuah gua. Ibrahim yang dulunya seorang raja yang hebat akhirnya menyendiri dan berkhalwat di dalam gua selama sembilan tahun.

Selama di dalam gua itulah Ibrahim betul-betul mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Setiap hari Kamis dia pergi ke kota Nishafur untuk menjual kayubakar. Setelah shalat Jumat Ibrahim pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya tadi. Roti itu separuh diberikan kepada pengemis dan separuh lagi untuk berbuka puasa. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.

Akhirnya Ibrahim memutusan untuk keluar dari gua tersebut dan mengembara lagi melintasi padang pasir yang luas itu. Dia tidak tahu lagi ke mana hendak dituju. Setiap kali berhenti di sebuah perkampungan, dikumpulkanlah orang-orang setempat untuk memberitahu betapa kebesaran Allah terhadap hambaNya dan azab yang akan diterima oleh siapapun yang mengingkarinya. Justeru itu banyaklah orang yang akrab dengannya bahkan ada yang menjadi muridnya.

Pengembaraan melintas padang pasir itu dilakukannya empat belas tahun lamanya. Selama itu pula dia berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nama Ibrahim mulai disebut-sebut orang; dari seorang raja berubah menjadi seorang ahli sufi yang rendah hati.

Pernah dalam perjalanannya dia diuji. Disebabkan kewara’annya itu ada seorang kaya raya datang menemuinya untuk mengambil tabarruk atas dirinya dengan memberi sejumlah uang yang sangat banyak. “Terimalah uang ini, semoga berkah”, katanya kepada Ibrahim.

“Aku tidak mau menerima sesuatupun dari pengemis”, jawab Ibrahim.

“Tetapi aku adalah seorang yang kaya raya”, sergah orang kaya itu.

“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari apa yang telah engkau miliki sekarang ini?” tanya Ibrahim.

“Ya, kenapa tidak?” Jawabnya ringkas.

“Simpanlah uang ini kembali, bagiku engkau tidak lebih dari ketua para pengemis. Bahkan engkau bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat fakir dan peminta-minta.” Tegur Ibrahim.

Kata-kata Ibrahim itu membuat orang kaya itu tersentak seketika. Penolakan pemberiannya oleh Ibrahim disertai dengan kata-kata yang sinis lagi pedas itu turut meninggalkan kesan yang mendalam kepada dirinya. Dengan peristiwa tersebut orang kaya itu bersyukur kepada Allah karena pertemuan dengan Ibrahim itu membuat dirinya sadar akan tipu daya dunia ini. Merasa lalai dengan nafsu yang tidak pernah cukup dari apa yang perolehnya selama ini.

Suatu ketika Ibrahim bin Adham sedang menjahit jubah buruknya di tepi sungai Tigris kemudian dia ditanya oleh sahabatnya, “Engkau telah meninggalkan kemewahan istana dari kerajaanmu yang besar. Tetapi apakah yang engkau dapatkan dari semua yang engkau jalani selama ini?”

Disebabkan pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu keluar dari mulut sahabatnya sendiri maka dengan tiba-tiba jarum di tangannya terjatuh ke dalam sungai itu. Sambil menunjuk jarinya ke sungai, Ibrahim berkata, “Kembalikanlah jarumku!”

Tiba-tiba seribu ekor ikan mendongakkan kepalanya ke permukaan air. Masing-masing ikan itu membawa sebatang jarum emas di mulutnya. Ibrahim berkata: “Aku inginkan jarumku sendiri.”

Seekor ikan kecil yang lemah datang mengantarkan jarum besi kepunyaan Ibrahim di mulutnya.

“Jarum ini adalah salah satu di antara imbalan-imbalan yang aku peroleh, karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedangkan yang lainnya belum tentu untuk kita, semoga engkau mengerti.” Kata Ibrahim Adham dengan penuh kiasan.

Ibrahim bin Adham terkenal juga memiliki semangat ukhuwah yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Sahl bin Ibrahim sebagai pernah mengatakan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham, lantas aku sakit. Ia memberikan nafkahnya untuk diriku. Suatu saat aku ingin sekali akan sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya, dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku ingin minta penjelasan, ‘Hai Ibrahim, mana kudanya?’ Ia menjawab, ‘Sudah kujual!’ Kukatakan, “Lantas aku naik apa?’ Dijawabnya, ‘Saudaraku, engkau naik di atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga pos ia menggendongku.”

Pada kesempatan lain Ibrahim bin Adham ditemui oleh khalifah pada masa itu. Khalifah tertarik untuk bertemu dengan Ibrahim bin Adham, karena ketakwaannya. Untuk menguji kebenaran berita itu, Sang Amir (khalifah) menemui Ibrahim bin Adham di masjid.

“Ya Ibrahim, kau kenal aku kan? Aku seorang Amir, apa yang ingin kau minta dariku?” Khalifah membujuk

“Bagaimana aku berani meminta kepadamu, aku malu meminta kepadamu, karena aku sedang berada di rumahNya.” Ibrahim mencoba mengelak.

Sesaat ketika khalifah dan Ibrahim berada di luar masjid, khalifah mengulangi lagi permintaannya,”Nah Ibrahim, sekarang kita telah berada di luar rumah Allah, apa yang ingin kau minta dariku?”

“Aku boleh meminta kepadamu tentang dunia atau akhirat?” pinta Ibrahim

“Tentunya dunia wahai Ibrahim, karena aku tak memiliki akhirat.” Khalifah terperangah atas permintaan Ibrahim.

Ibrahim berpikir sejenak, lalu merespon permintaan khalifah, yang akan mencerminkan ketakwaannya.

“Maaf tuan, kepada yang “Maha Memiliki” dunia saja aku takut untuk meminta dunia, bagaimana aku minta dunia, kepada yang “tak memiliki” dunia??”

Begitulah kehidupan Abu Ishaq–nama panggilannya–Kakeknya dahulu adalah penguasa Khurasan, dan ayahnya pernah menjadi salah satu dari raja Khurasan. Otomatis, Ibrahim mewarisi kerajaan itu. Dia pun seorang Tabi’in yang terkenal. Dia pernah bertemu dengan beberapa dari sahabat Rasulullah SAW dan meriwayatkan hadits-hadits setelah mereka. Dia sangat lancar berbahasa Arab fushkhah. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir Al-Ajly At-Tamimi. Ia mewarisi kekayaan dan hidup di dalam kemewahan, tetapi akhirnya berkelana selama dua puluh tahun, kemudian dikenal sebagai ulama besar yang bermukim di Makkah, menjadi murid Sufyan ats-Tsaury dan al Fudhail bin ‘Iyadh.

Imam Junayd al Baghdadi ra berkata tentangnya, “Ibrahim adalah kunci ilmu pengetahuan” dan dia sangat dihormati, oleh semua orang yang memiliki ilmu pengetahuan, untuk kehidupannya yang patut dicontoh dan ketajaman kebijakannya kepada seluruh manusia”.

Ibrahim bin Adham meninggal di salah satu pulau yang terletak di laut Mediterania dalam sebuah ekspedisi jihad menaklukkan Byzantium. Diriwayatkan pada malam sebelum wafatnya, beliau pergi ke kamar kecil sebanyak dua puluh kali. Dia juga selalu memperbaharui wudhunya setiap selesai berhajat karena ketika itu ia sedang menderita sakit perut. Kemudian, ketika sedang sakaratul maut, Ibrahim berkata, “Berikan aku panah!,” Para sahabatnya lantas memberi Ibrahim panah, kemudian ia memegang panah tersebut namun saat bersamaan datanglah malaikat Izrail menjemput sedang dia ingin melemparkan panah itu ke pihak musuh.

Dengan begitu, beliau meninggal sebagai syuhada karena sakit perut saat sedang berjihad bersama para tentara lainnya di jalan Allah. Allah swt merahmati hamba shaleh ini yang telah menyiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya maka ketika kematian menjemputnya ia pun menyambutnya dengan hati gembira karena ingin bertemu dengan Tuhannya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan kedudukannya. Wallahu a’lam.

Selengkapnya »»